Welcome to my blog!

Minggu, 11 Maret 2012


“KETIKA AMANAH HARUS KU PIKUL”

 

            Cerahnya mentari mengguratkan cerahnya harapan. Ketika harus berjuang untuk masa depan. Yang terbayang adalah romansa kesuksesan yang ingin di tawan. Namun, bermimpi tak semudah berkeinginan, karena ini bukan perkara yang ringan, seringan menggengam sebuah cawan. Waktu memaksa untuk mempelajari makna. Menyentuh yang tak dapat diraba. Menampakkan bayangan yang mudah sirna.
            Ketika ada sebuah pilihan. Saraf-saraf bergerak secara spontan. Mencoba meneliti dan menganalisis pilihan mana yang paling menawan. Namun, sungguh tidak mudah. Ketika harus memilih maka harus berani. Berani menghadapi apa yang akan terjadi nanti. Hidup adalah sebuah pilihan. Sukses atau gagal. Tergantung pada keputusan. Terlepas dari takdir yang telah di tetapkan Tuhan.
            Ketika membaca dua paragraf diatas seolah-olah kita membaca sebuah syair. Tapi sebenarnya saya bukanlah seorang yang ahli dalam merangkai syair dan puisi. Saya khawatir jika saya meneruskan tulisan itu. Saya tidak dapat menemukan tujuan yang sebenarnya dalam tulisan ini. Orang-orang sering berkata, pembicaraan yang sederhana adalah cara yang baik untuk meraih tujuan yang sederhana. Namun, mari kita patahkan pendapat tersebut. Kita bicarakan hal-hal yang sederhana untuk meraih tujuan yang luar biasa. Anda sepakat? Jika sepakat, maka teruskanlah membaca.
            “KETIKA SEBUAH AMANAH HARUS DI PIKUL”. Menyiratkan makna bahwa setiap diri kita pasti sudah, sedang, dan akan mengalaminya. Sebenarnya kata “SEBUAH” tidak tepat dalam mendeskripsikan AMANAH. Karena percaya atau tidak AMANAH bukanlah suatu hal yang kita PIKUL secara sadar saja. Namun AMANAH adalah setiap apa yang kita miliki. Berapa banyak pemberian Tuhan yang kita miliki. Maka sebanyak itulah amanah yang kita miliki. Mengapa harus MEMIKUL? Kenapa tidak di jinjing atau mengangkat. Ternyata ada suatu perbedaan yang cukup mendasar ketika kita mengatakan MEMIKUL. Coba kita analogikan. Berat mana suatu benda yang di jinjing atau di pikul?. Tentu kita tahu bahwa benda yang dipikul pasti lebih berat daripada benda yang hanya di jinjing. Telah jelas sudah berarti AMANAH adalah bukanlah suatu hal yang ringan. Anda setuju?
            “Kenapa aku ingin mendapatkan amanah itu atau kenapa aku dititipkan amanah itu?”. Adakah diantara dua pertanyaan tersebut pernah anda alami. Atau salah satunya. Mana yang sering anda alami?. Saya tidak akan memaksa anda untuk menjawab. Simpan rapat- rapat jawabnya di dalam hati anda. Cukuplah menjadi renungan bagi diri kita.
 
           
              Tentu ada sebagian orang diluar sana yang menyukai pertanyaan pertama. Namun tidak sedikit pula orang yang menyukai pertanyaan yang kedua. Semuanya tergantung dari tujuannya. Ketika amanah menjadi sebuah kesenangan, maka ia akan menyenangkan. Ketika  amanah menjadi sebuah beban, maka ia akan membebankan. Tapi coba kita balik. Ketika amanah menjadi sebuah kesenangan, maka ia akan membebankan. Ketika amanah menjadi sebuah beban, maka ia akan menyenangkan.
            Ketika amanah menjadi sebuah kesenangan, maka ia akan menyenangkan. Amanah adalah sebuah kepercayaan empunya untuk menitipkan sesuatu kepada yang dipercayanya. Dititipkan karena dipercaya. Diyakini karena dapat  menjalankannya. Senang dan bahagia ketika menjadi tempat yang dititipi? Ya, tidak salah. Karena ini akan menjadi ladang pahala dan kasih yang menyejukkan jiwa. Tentu puncak dari kesenagan ini adalah sebuah keikhlasan
           Ketika amanah menjadi sebuah beban, maka ia akan membebankan. Amanah itu tidak pernah kita inginkan. Namun kita harus memikulnya. Tentu ini akan menjadi sebuah beban. Atau bukannya kita tidak mau direpotkan dengan amanah, namun kita hanya takut akan mengecewakan empunya kepercayaan. Suatu bentuk keyakinan yang tidak benar, tapi sering dibenar-benarkan.
            Ketika amanah menjadi sebuah kesenangan, maka ia akan membebankan. Amanah menjadi sebuah komoditi. Amanah menjadi sebuah profesi. Tentu tidak ada yang salah. Tapi, yang menjadi masalah besar yang tak tampak di mata adalah ketika NIAT untuk memikul amanah itu menjadi sebuah kesenangan yang membinasakan. Yang menodai gumpalan darah suci itu menjadi buram karena kotoran sang nafsu. Yang tergores karena tajamnya sang kikir. Yang teraniaya karena zalimnya sang takabur. Begitu banyak orang yang mengagung-agungkan sebuah amanah namun ia tak dapat memikulnya. Banyak yang menghina dan terhina karena amanah. Banyak yang terjebak karena mengejar kemuliaan yang fana. Banyak yang binasa karena terlalu bangga.
      Ketika amanah menjadi sebuah beban, maka ia akan menyenangkan. Takut memikul amanah karena takut akan menganiaya. Sebuah kehati-hatian yang menetap di hati. Tapi, tidak juga dibenarkan ketika rasa takut itu dapat menjadi pagar kehati-hatian dalam memikul amanah. Menjadi sekat ketika nafsu menguasai. Menjadi perisai ketika godaan mengintai. Jika diluar sana kita melihat banyak orang-orang yang berpotensi untuk memanfaatkan amanah ini menjadi sebuah kezaliman. Maka jauh lebih penting kita untuk memikul amanah ini daripada kita berdiam diri dan menjauh dari amanah. Bukan berusaha untuk menjadi pahlawan, tapi berusaha untuk menjadi penghalang. Penghalang sebuah kezaliman. Pujian dan kemuliaan fana bukanlah tujuan pengabdian. Ketika amanah menjadi sebuah kewajiban.

Sabtu, 10 Maret 2012
Pukul : 23.30 WIB

1 komentar: