“KETIKA AMANAH HARUS KU PIKUL”
Cerahnya
mentari mengguratkan cerahnya harapan. Ketika harus berjuang untuk masa depan.
Yang terbayang adalah romansa kesuksesan yang ingin di tawan. Namun, bermimpi
tak semudah berkeinginan, karena ini bukan perkara yang ringan, seringan
menggengam sebuah cawan. Waktu memaksa untuk mempelajari makna. Menyentuh yang
tak dapat diraba. Menampakkan bayangan yang mudah sirna.
Ketika
ada sebuah pilihan. Saraf-saraf bergerak secara spontan. Mencoba meneliti dan
menganalisis pilihan mana yang paling menawan. Namun, sungguh tidak mudah.
Ketika harus memilih maka harus berani. Berani menghadapi apa yang akan terjadi
nanti. Hidup adalah sebuah pilihan. Sukses atau gagal. Tergantung pada
keputusan. Terlepas dari takdir yang telah di tetapkan Tuhan.
Ketika
membaca dua paragraf diatas seolah-olah kita membaca sebuah syair. Tapi
sebenarnya saya bukanlah seorang yang ahli dalam merangkai syair dan puisi.
Saya khawatir jika saya meneruskan tulisan itu. Saya tidak dapat menemukan
tujuan yang sebenarnya dalam tulisan ini. Orang-orang sering berkata,
pembicaraan yang sederhana adalah cara yang baik untuk meraih tujuan yang
sederhana. Namun, mari kita patahkan pendapat tersebut. Kita bicarakan hal-hal
yang sederhana untuk meraih tujuan yang luar biasa. Anda sepakat? Jika sepakat,
maka teruskanlah membaca.
“KETIKA
SEBUAH AMANAH HARUS DI PIKUL”. Menyiratkan makna bahwa setiap diri kita pasti sudah,
sedang, dan akan mengalaminya. Sebenarnya kata “SEBUAH” tidak tepat dalam
mendeskripsikan AMANAH. Karena percaya atau tidak AMANAH bukanlah suatu hal
yang kita PIKUL secara sadar saja. Namun AMANAH adalah setiap apa yang kita
miliki. Berapa banyak pemberian Tuhan yang kita miliki. Maka sebanyak itulah
amanah yang kita miliki. Mengapa harus MEMIKUL? Kenapa tidak di jinjing atau
mengangkat. Ternyata ada suatu perbedaan yang cukup mendasar ketika kita
mengatakan MEMIKUL. Coba kita analogikan. Berat mana suatu benda yang di
jinjing atau di pikul?. Tentu kita tahu bahwa benda yang dipikul pasti lebih
berat daripada benda yang hanya di jinjing. Telah jelas sudah berarti AMANAH
adalah bukanlah suatu hal yang ringan. Anda setuju?
“Kenapa
aku ingin mendapatkan amanah itu atau kenapa aku dititipkan amanah itu?”.
Adakah diantara dua pertanyaan tersebut pernah anda alami. Atau salah
satunya. Mana yang sering anda alami?. Saya tidak akan memaksa anda untuk
menjawab. Simpan rapat- rapat jawabnya di dalam hati anda. Cukuplah menjadi
renungan bagi diri kita.
Tentu
ada sebagian orang diluar sana yang menyukai pertanyaan pertama. Namun tidak
sedikit pula orang yang menyukai pertanyaan yang kedua. Semuanya tergantung
dari tujuannya. Ketika amanah menjadi sebuah kesenangan, maka ia akan
menyenangkan. Ketika amanah menjadi
sebuah beban, maka ia akan membebankan. Tapi coba kita balik. Ketika amanah
menjadi sebuah kesenangan, maka ia akan membebankan. Ketika amanah menjadi
sebuah beban, maka ia akan menyenangkan.
Ketika
amanah menjadi sebuah kesenangan, maka ia akan menyenangkan. Amanah
adalah sebuah kepercayaan empunya untuk menitipkan sesuatu kepada yang
dipercayanya. Dititipkan karena dipercaya. Diyakini karena dapat menjalankannya. Senang dan bahagia ketika
menjadi tempat yang dititipi? Ya, tidak salah. Karena ini akan menjadi ladang
pahala dan kasih yang menyejukkan jiwa. Tentu puncak dari kesenagan ini adalah
sebuah keikhlasan
Ketika
amanah menjadi sebuah beban, maka ia akan membebankan. Amanah itu tidak
pernah kita inginkan. Namun kita harus memikulnya. Tentu ini akan menjadi
sebuah beban. Atau bukannya kita tidak mau direpotkan dengan amanah, namun kita
hanya takut akan mengecewakan empunya kepercayaan. Suatu bentuk keyakinan yang
tidak benar, tapi sering dibenar-benarkan.
Ketika
amanah menjadi sebuah kesenangan, maka ia akan membebankan. Amanah
menjadi sebuah komoditi. Amanah menjadi sebuah profesi. Tentu tidak ada yang
salah. Tapi, yang menjadi masalah besar yang tak tampak di mata adalah ketika
NIAT untuk memikul amanah itu menjadi sebuah kesenangan yang membinasakan. Yang
menodai gumpalan darah suci itu menjadi buram karena kotoran sang nafsu. Yang
tergores karena tajamnya sang kikir. Yang teraniaya karena zalimnya sang
takabur. Begitu banyak orang yang mengagung-agungkan sebuah amanah namun ia tak
dapat memikulnya. Banyak yang menghina dan terhina karena amanah. Banyak yang
terjebak karena mengejar kemuliaan yang fana. Banyak yang binasa karena terlalu
bangga.
Ketika
amanah menjadi sebuah beban, maka ia akan menyenangkan. Takut memikul
amanah karena takut akan menganiaya. Sebuah kehati-hatian yang menetap di hati.
Tapi, tidak juga dibenarkan ketika rasa takut itu dapat menjadi pagar
kehati-hatian dalam memikul amanah. Menjadi sekat ketika nafsu menguasai.
Menjadi perisai ketika godaan mengintai. Jika diluar sana kita melihat banyak
orang-orang yang berpotensi untuk memanfaatkan amanah ini menjadi sebuah
kezaliman. Maka jauh lebih penting kita untuk memikul amanah ini daripada kita
berdiam diri dan menjauh dari amanah. Bukan berusaha untuk menjadi pahlawan,
tapi berusaha untuk menjadi penghalang. Penghalang sebuah kezaliman. Pujian dan
kemuliaan fana bukanlah tujuan pengabdian. Ketika amanah menjadi sebuah
kewajiban.
Sabtu, 10 Maret 2012
Pukul : 23.30 WIB
Memang ga mudah yah mba menjalankan sebuah amanah...
BalasHapus